7 punggungan 1 prinsip

.
.
7 PUNGGUNGAN 1 PRINSIP
.
Selimut embun pagi masih menutupi sebagian besar permukaan Ranu Kumbolo dan nyanyian angin pagi masih dibibir cemara ketika sang mentari pagi bangkit di ufuk timur, memancarkan sinar hangat dan bersahabat kepada seluruh lapisan alam dan mahluk hidup. Beberapa tenda pendaki masih terlihat basah oleh embun ketika kita menyibak rasa kantuk dan melupakan rasa lelah kemaren. Membuang rasa kantuk, lelah, beku dan kaku adalah beberapa hal utama yang sedaya – upaya kita lakukan untuk mengawali pagi pertama di bulan November tahun 2006. Berbekal suhu antara 4 – 5 °C hampir semua dari kita telah terjaga dan menyiapakan segalanya agar kegiatan pagi itu selancar mungkin. Cuci muka atau mandi, boker atau beser, dandanan ataupun tidak, yang pasti kita semua tersenyum bangga menikmati lukisan alam sang Maha Pencipta yang seakan – akan tidak pernah berhenti meneteskan kenikmatan pada setiap daya dan asa kita yang kita miliki.
.
Pagi itu di Ranu Kumbolo, kita kembali kepada keberadaan kita seperti sekumpulan anak – anak yang selalu mendambakan keceriaan dan kebersamaan serta menikmati suasana alam dan nyanyian satwa disekitar kita. Tidak tergores sedikitpun diwajah dan kelakuan kita akan segala keluh – kesah dan masalah yang beberapa hari lalu telah mendera dan memenatkan kita. Sebuah harapan baru dipagi yang cerah telah dengan hangat menyelimuti terjaganya kita, membawa kita kepada hangatnya suasana perjalanan petualangan alam bebas yang hakiki. Memformat kembali sisi – sisi relung hati kita sedemikian rapi agar bagian – bagian yang kosong dapat kita isi kemudian, membuka segala mata dan hati kita akan segala janji alam Taman Nasional Bromo Tengger Semeru untuk setiap pertanyaan yang pernah tergores di kepala dan dada kita, membuat pagi itu kian cerah dan ceria untuk mengawali sisa perjalanan ini, agar dapat kita kenang, karena kita tidak akan pernah kembali ke waktu yang telah menjadi kenangan tersebut. Isilah ruang – ruang dihati kita, pandanglah setiap jengkal lukisan alam yang terhampar, dengarlah suara deru angin dan nyanyian alam yang bertautan agar kita tidak menjadi manusia yang menyesal dikelak kemudian hari.
.
Setelah harapan – harapan tersebut kita rasakan, ketika alam kian bersahabat memeluk kita, ketika kita telah kembali kepada kebersamaan yang begitu utuh dan nyata, ketika segalanya terasa sangat harmonis, ketika itulah kita mulai kembali mendambakan agar kita selalu berada disini, selalu dapat menikmati setiap bagian dari mahakarya ini, selalu bersama dan ceria berada disini. Bersama kita jawab seluruh pertanyaan di hati, bersama kita arungi lautan kebebasan ini, bersama dan tak pernah tercerai – beraikan oleh segala yang mendera dan menyakitkan, bersama dan terus bersama.
.
Kini, embun tak lagi menyelimuti permukaan Ranu Kumbolo dan gigil tak lagi menggigit tulang kita, saat kita mengunyah dan menikmati makan siang yang lebih awal telah kita persiapkan. Dengan segala canda dan ceria kita nikmati hidangan yang seakan – akan adalah hidangan terbaik yang pernah kita nikmati selama beberapa hari belakangan di kawasan TN BTS. Hidangan yang sangat memanjakan cacing – cacing di perut kita: Nasi putih, sayur tumis ala Teddy, nuggets goreng favoritnya Ulfa, sambal goreng ikan Teri, sambal ala pedasnya sendal jepit serta segarnya air Ranu Kumbolo, akankah terbayar harga menu tersebut ? Tidak, Tidak akan pernah.
.
Kenikmatan hidangan makan siang masih terasa di lidah dan tenggorokan kita ketika mentari telah berdiri tegak di atas kepala kita, beberapa tim pendakian lain telah mendahului kita melanjutkan perjalanan mereka, ketika itulah atas komando sang komandan kita mulai mengemasi segala perlengkapan yang ada. Acungan jempol kita berikan kepada kebersihan yang telah kita jaga baik di camp maupun di sepajang perjalanan, seakan akan tak satupun materi sampah luput dari pandangan dan tangan kita.
.
Rasnsel telah tertutup rapat dan berjejer rapi, tali sepatu telah terikat kencang, sunblock telah tersebar diseluruh permukaan kulit yang terlihat, takkala kita berkumpul untuk terakhir-kalinya disisi barat Ranu Kumbolo. Seakan – akan waktu berhenti saat kita berfoto bersama dengan latar belakang sang Ranu. Bersama kita tegaskan ucapan terimakasih dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kesehatan, kekuatan dan kenikmatan yang telah diberikan, bersama kita isi ruang – ruang hati yang tersisa dengan segala kebersamaan ini, bersama kita ukir semangat dan kebersamaan yang telah, ada dan akan kita miliki, bersama kita sampaikan salam perpisahan kita kepada segenap penjuru alam Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, bersama kita berdiri di sisi barat Ranu Kumbolo untuk kita goreskan di kepala dan dada kita agar selalu dikenang dan tak akan pernah terlupakan.
.
Uye… ujo, Langkah – langkah kecil telah teruntai dan pandangan – pandangan penuh pesona telah kita tebar, mengantarkan kita ke tanjankan pertama yang mebawa kita kembali ke Jalur Konvensional. Jalur yang diawali dengan jambangan edelweiss terakhir yang akan kita jumpai. Jalur yang beberapa hari lalu telah kita tatap dan lewati. Seketika setelah kita tersentak sesampai dipuncak tanjakan tersebut, dengan rasa antara murung dan ceria kita rasakan kita telah meninggalkan Ranu Kumbolo dengan segala warna dan rasanya. Kita tinggalkan jejak langkah kita yang takkan pernah pudar menemani seluruh lapisan alam Ranu Kumbolo.
.
Langkah demi langkah telah teruntai, lekukan demi lekukan jalur telah kita lewati, pandangan demi pandangan telah tersebar, kita rasakan Jalur Konvensional menyuguhkan pemandangan yang beberapa hari lalu tidak kita dapatkan. Memungut buah arbei hutan membuat Fai, Rangga dan Patua sepeti tiga ekor monyet yang sedang kelaparan, mengambir foto beberapa ekor Siamang yang sebenarnya sangat mirip dengan kita, berfoto di Jembatan Merah seperti bintan film F4, berbagi cerutu yang tak lain hanya membuat bibir makin jontor ketimbang gaya, lihat kiri – kanan seperti bodyguard…eeh ternyata cuma cari tempat boker yang tepat, memandang ketat penuh tanya beberapa tapak kaki yang mirip dengan tapak kaki si “M” sang raja hutan dan berbagai kenikmatan alam lainnya telah mengantarkan kita kepada punggungan terakhir jalur tersebut, jalur yang telah kita nikmati bersama, jalur pembuktian bahwa siapapun kita, hanya sebuah prinsip-lah yang selayaknya kita bentangkan di sepanjang jalur tujuh punggungan tersebut, prinsip yang tidak pernah mengenal kata “aku, kau atau dia”, prinsip yang hanya mengenal kata “kita”.
.
Tak-kala segarnya warna dan rasa air Ranu Kumbolo masih berbekas di tenggorokan, tak-kala langkah – langkah semakin lunglai, tak-kala mentari mulai condong ke barat dan udara terasa mulai mengigit tulang, kala itulah kita selesaikan Jalur Konvensional dengan ucapan “selamat kembali ke Ranu Pane” oleh bapak pejual kopi dan ote – ote di warung sebelah post penjagaan kawasan tersebut.

Catatan Pinggir:
Satu: Di Ranu Pane, nenggak kopi panas yang masih ngebul buka berarti “debus”, makan ote – ote dengan tangan gemetar bukan berarti takut gak bisa bayar, duduk meringkuk bukan berarti kelaparan, rokok sambung – menyambung bukan berarti punya masalah berat tetapi semua itu hanya sekedar kelakuan manusia biasa yang berusaha bertahan dari gigitan udara gigil pegunungan.
Dua: Di Ranu Pane jangan takut kelupaan ransel apalagi ketinggalan angkutan, yang perlu ditakutkan adalah kelupaan bayar kopi dan ote – ote, hal tersebut (kemungkinan) sering terjadi karena kita sangat mendambakan bak truk yang hangat yang akan membawa kita meruju Tumpang, tetapi jika itu terjadi juga semoga kita tidak sengaja dan bapak penjual tersebut merelakannya.
.
Matahari telah terbenam di barat, kabut dan embun telah menyelimuti hampir seluruh permukaan Ranu Pane, mulai pukul 18.05 WIB, di suhu 9 - 10 °C, di bak belakan truk beberapa cerita singkat bergulir. Mulai dari cerita tentang posisi duduk yang sangat terbatas sampai cerita kapan kita akan mendapatkan signal GSM. Mulai dari cerita – cerita logis sampai yang meta-fisis. Mulai yang lucu sampai yang menjengkelkan. Mulai dari Ranu Pane sampai Tumpang oleh belasan manusia berketiak belang - belang.
.
Setelah bayar ongkos truk dengan seikat duit seribuan milih Ulfa dan Fai, kita tinggalkan jejak hangat pantat kita di bak truk tersebut. Ransel tak-lagi terasa berat, punggung tak-lagi menanggung beban, mata tak-lagi terpesona, langkah – langkah tak-lagi meninggalkan debu ketika kita sampai di Tumpang. Wartel, minimarket, ruko, angkot, mobil, sepeda motor dan segala cermin peradaban telah terbentang dihadapan kita, semua peradaban kembali setelah lebih-kurang dua jam berdesak – desakan bersama tim dari Jogjakarta di bak truk yang nggak seberapa itu. Huuh Cape Deh… (kate Ulfe).
.
Teddy harus kembali turun kejalan untuk tawar – menawar dengan supir angkot, entah mengapa seorang Teddy merupakan cermin betapa ketatnya budget kita untuk kendaraan jenis angkot, entah mengapa selisih harga dua ribu rupiah merupakan perkara antara hidup dan mati, mungkin karena Teddy adalah orang yang tepat untuk tugas tersebut ? entahlah, yang pasti akhirnya sang supir kalah bernegosiasi dan merelakan dua ribu rupiah tersebut demi kita “ucapan selamat kepada kedua – duanya” karena telah menemukan jalan keluar yang damai, dan kita bergegas mengambil posisi yang tepat untuk ransel dan kita, untuk melanjutkan sisa perjalanan hari ini sebelum kita sampai di Malang.
.
Tidak banyak yang terceritakan di angkot tersebut, hanya beberapa obrolan ringan tentang rencana setiba di sekretariat nanti. Seakan – akan hampir semua dari kita lebih memilih tenang dan memandangi keadaan diluar angkot, keadaan yang beberapa hari belakangan tidak kita rasakan, kerlip lampu, suara klakson kendaraan, bau asap knalpot serta segala tetek-bengek peradaban kota yang kembali harus kita arungi. Mungkin sebagian kita lega telah kembali berada di tengah – tengah peradaban tersebut, mungkin sebagian yang lainnya merasa muak.
.
Seluruh ransel kita parkirkan dengan rapi, sebagian kita langsung ke kamar mandi dan yang lainnya kelihatan lebih memilih untuk leyeh – leyeh di ruang utama sesaat kita sampai di sekretariat “Paradisoda” STIE Malang, setelah lebih – kurang 40 menit di angkot dalam perjalanan pulang dari Tumpang. Perjalanan yang terasa sangat singkat oleh letih yang menyelimuti kita, perjalanan yang (mungkin) tidak lain hanya sebagai penghubung antara mimpi dan realita.
.
~
.
.